Wednesday, April 25, 2007

Making Friends with the Enemy

sy pernah menulis dengan topik yang hampir sama di blog ini dg judul sakit hati + iri hati = fitnah & halusinasi (from my FS blog). disitu cerita tentang rasa sakit dan iri hati. kali ini sy mo bahas jika kita memiliki orang yang tidak cocok dengan kita (terminologi ekstrimnya: musuh). entah itu hasil sakit hati, iri, perbedaan prinsip dan lainnya.
kalau "musuh" itu memang ada: nyata dan tidak hasil imajinasi, dan berada di sekitaran kita, apa yang harus dilakukan?

kalau sy menjawab pakai ilmu cuih-cuih, jawabannya tentu: bertemanlah dengan musuhmu. kalau sy menjawab dengan ego sy, jawabannya tentu: berperang sampai titik darah penghabisan.
namun pada suatu ketika jawabannya akan menjadi: "tergantung", seperti jawaban para populis yang senang sekali mencari aman. coba cari celah untuk tidak mati. tapi memang begitulah. bisa jadi jawabannya tergantung.

kunci yang perlu dilakukan sebelum kita main kotor atau cukup menjadi orang suci dan berharap semoga kebaikan melupakan dendam diganjar surga olehNYA, adalah dengan mengenali "musuh" kita. coba deh definisikan dulu yang sebenarnya kita anggap musuh itu siapa? apa ketika kita sudah punya definisi mengenai bagaimana teman, lantas smuanya yang tidak sesuai dengan definisi tersebut, langsung kita pungut dan lemparkan dalam kotak berlabel: "musuh"? ih.., kasian sekali kamu..

apakah ketika seseorang yang mengasihi keluargamu dengan sangat, namun diembus-embuskanlah oleh orang yang tidak menyenangi kondisi tersebut bahwa itu hanyalah strategi perampasan keluargamu atau berniat buruk terhadap keluargamu, sehingga pada akhirnya kamu menganggap seseorang yang mengasihi itu adalah musuh, apakah sebenarnya sudah tepat?

atau ketika dia memiliki pendapat yang berbeda kemudian serta merta kamu anggap dia musuh? hei.., lupakah.. bahwa kebenaran itu hanya milik DIA? selama kebenaran tersebut belum dapat justifikasi dari aturan keilahian, sy pikir semuanya masih bisa didebat. termasuk pendapat "benar" kamu.

kamu dan saya lahir sebagai orang yang berbeda: latar belakang dan ide-ide masa depannya. kehidupan satu sama lain pun berbeda. setiap detiknya. maka coba masuki kehidupannya dengan sudut pandang yang tidak picik. terbukalah. jangan berdasar informasi parsial kemudian diambil keputusan. naif. tolol. merugi. apalagi untuk meletakkan seseorang sebagai musuh.

ayo definisikan lagi. umur kita sudah tidak muda loh.. dan bukan berarti kalaupun muda merasa masih ada jatah umur sehingga berharap kelak urusan membersihkan hati bisa tuntas.
tidak perlu bermusuhan.. simpan saja energi pada sesuatu yang lebih penting, misalnya menyelesaikan pengejaran cita-cita yang tertunda.

lagipula (ini yang penting).., ingat hukum kekekalan energi? energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan?
pendapat sy, ini dapat mensimplifikasi penjelasan kenapa tidak perlu bermusuhan, wlpun mungkin tidak secara tepat berlaku untuk bentuk energi psikis.
energi yang ada di diri, kita anggap sejumlah X. maka ketika kamu memakainya untuk bermusuhan, udah nggak X bulat lagi sayang..
dan ngebayangin orang itu, musuh kamu, yang dapat privilege ngabisin energi kamu, apa nggak bikin tambah sebel tuh..? jadi sudahlah.. hidup tenang aja kita.. hidup sudah rumit tanpa kamu menambahnya dengan masalah permusuhan-permusuhan.


----
nulis ini krn lagi inget temen yg punya kebencian luar biasa pada seseorang. kebencian yang sanggup meledakkan satu kota mungkin..

Monday, April 23, 2007

..:: Dan bisa saja ia pergi... ::..

Dan bisa saja ia pergi..
Menaruh ikrarnya di dalam koper,
dijejalkan dalam lipatan-lipatan baju penuh ngengat ,
ikut apak dan jadi usang.
Aku ingin bau kamper, katanya.

Tapi tetap mengunci koper dengan kode.

Dan bisa saja ia pergi..

Karena wangiku sudah lenyap,
tinggal aroma kulit yang menua,
namun damai.
Kenapa aku merasa benci?

Dan bisa saja ia pergi..
Aku tidak pergi, katanya.
(Bagaimana kalau matamu bilang iya?)
Mungkin juga aku akan pergi, katanya.
(Jadi yang mana..?)
Aku pergi bukan karena kamu, katanya.
(Karena mereka?)
Bukan.., karena dia.., katanya.

Dan bisa saja ia pergi..
Karena bumi menolak ikrarnya,
memuntahkan sampai sisa-sisa lendir yang menyertai,
membersihkan diri dari kotor dan kesakitan.

Dan kalau memang ia pergi..
Tak mengapa aku menjadi orang aneh,
merunduk mencari harga diri yang cecer-cecer,
menggaruk kulit pohon, dinding bata, atau bentuk khayal tak berjasad, sampai kuku-kuku patah dan berbalik arah tumbuh,
mengiris hatiku dengan ujung kertas dan berbunyi "kriet-kriet" pedih,
karena memang ia pergi.

Maka kini tak perlu hidupku lagi..

---

Aku mencintaimu,
Aku memujamu.
Aku merindumu,
Aku membutuhkanmu.

Dan sekali lagi,
bisa saja ia pergi...