Saturday, November 24, 2007

When HR and IS collide.. (sebuah tugas mata kuliah SIT)

Saya paham bahwa suatu pelatihan akan optimal dan tepat sasaran jika sebelumnya dilakukan training need analysis. Jelas itu yang terpikir di kepala saya ketika seorang rekan di kantor mengajukan proposal keikutsertaan dalam beberapa course yang berbau Information System (IS) ke departemen saya. Sempat saya memberikan comment tiga poin pada halaman depan proposal tersebut, yaitu:

  1. Kaji ulang usulan karena belum jelasnya struktur organisasi IS/IT di perusahaan (ehm, sebenarnya struktur ini peer saya. Hehehe, red )
  2. Jika ada analisis kebutuhan pelatihan yang telah diselenggarakan secara mandiri, mohon dapat disertakan.
  3. Terima kasih (hehehe, nggak penting banget ya?, red)

Problem klasik yang terjadi antara teman-teman di bagian bisnis dan support non IS/IT versus teman-teman di bagian IS/IT adalah tidak adanya keselarasan dan kesepahaman atas suatu proses di suatu bagian, selain bagian miliknya sendiri. Memang akhirnya tidak perlu letter lijk namun setidaknya ketika sudah agak tahu, tahu, atau banyak tahu, akan mengurangi praduga salah bahkan meningkatkan toleransi dan obyektivitas penilaian kinerja bidang lain.

Ok, sebelum saya berbicara pakai bahasa planet yang njlimet, skema berikut mungkin dapat membantu saya (dan juga Anda, mudah-mudahan) menjelaskan kenapa permasalahan sering terjadi antara bagian IS dengan bagian lain.



Berdasarkan skema di atas maka pelatihan dan pengembangan sumber daya IS merupakan bagian dari tahap yang paling bawah: IS Operational Plans and Budgets. Menurut saya itu output, bukan driver. Bahkan ketika muncul justifikasi akan adanya kebutuhan, saya tetap menganggapnya sebagai output. Output dari suatu pengukuran bahwa terdapat gap antara rencana dengan realisasi, strategi dengan implementasi.

Jadi memang perlu adanya strategi dan perencanaan. Kalau kita kembali lagi ke skema cantik di atas dan coba kita bahas dari atas, secara sederhana dapat dipahami bahwa perlakuan apapun terhadap IS di perusahaan kita tetap harus memiliki hubungan interaksi dengan apapun yang diperlakukan terhadap bisnis.

Langkah pertama adalah melakukan assessment, baik terhadap bisnis maupun terhadap penggunaan dan pengelolaan informasi di perusahaan kita. Ketika melaksanakan assessment ini komunikasi dan sharing diperlukan antara dua divisi/departemen yang kemudian menjadi pengayaan ketika masing-masing membuat visi. Bagi bagian IS, hasil dari tahap pembuatan visi bisnis harus menjadi referensi terhadap pembuatan visi IS: bagaimana bisnis seharusnya dalam memanfaatkan informasi-informasi. Dengan demikian, ketika IS membuat arsitektur informasi, baik dari aspek managerial maupun teknis, dapat dipastikan sudah memuat kebutuhan-kebutuhan bagian bisnis.

Visi dan arsitektur informasi kemudian mempengaruhi pembuatan business strategic plan. Selanjutnya hasil dari tahap strategic plan di bagian bisnis ini menjadi referensi bagi pembuatan strategic plan di bagian IS. Akhirnya strategic plan bagian IS dijabarkan dalam rencana operasional dan anggaran di bagian IS dengan tetap didasarkan pada rencana operasional dan anggaran di bagian bisnis.

Mudahnya, seperti yang sudah saya sampaikan di atas, bahwa: apapun perlakuan perusahaan terhadap IS tidak terlepas dari apapun perlakuan perusahaan terhadap bisnis. Saling menjadi referensi. Dan interaktif.

Kembali ke permasalahan di perusahaan saya yang diceritakan di awal, semestinya memang tidak serta merta dapat diputuskan: OK atau TIDAK OK semata.

Pada beberapa waktu lalu, sekitar tahun 2005 telah diinisiasi penyelarasan antara bagian bisnis dan IS di kiSEL, baik dari tahap assessment, pembuatan visi maupun perumusan strategic plan. Ide menerapkan Enterprise Resources Planning (ERP) kemudian menjadi pemicu perhatian kepada dunia Information System and Technology yang sebelumnya dianggap belum perlu menjadi "sesuatu" di perusahaan kami.

Dan begitulah akhirnya bergulir. Sampai ketika pada Maret 2006 akhirnya diputuskan bahwa semua penggunaan sistem yang ada di perusahaan kami dievaluasi. Untuk implementasi program ERP dan Balanced Score Card (BSC) kemudian digugurkan.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perusahaan kami saat ini, ketika kejadian di atas - permintaan pelatihan IS oleh seorang rekan - berlangsung, berada pada kondisi terbatas. Benar-benar terbatas. Tidak ada assessment terhadap penggunaan dan pengelolaan informasi, tidak juga ada visi tentang bagaimana bisnis seharusnya memanfaatkan informasi, apalagi pembuatan strategic plan dalam bidang IS.

Dalam kondisi tersebut idealnya dapat menjadi tantangan bagi teman-teman di IS untuk berkreasi. Mulai mempelajari kembali bisnis perusahaan dan membuat tahapan-tahapan seperti dalam skema di atas. Kemudian mengkomunikasikannya, baik melalui media formal maupun media informal, yang selanjutnya menjadi referensi bagian support, seperti bagian saya: Pengembangan SDM, untuk membuat program kerja dan anggaran. Dengan demikian ketika muncul permintaan untuk pengadaan pelatihan atau untuk pengadaan tenaga kerja di bidang IS atau apapun terkait IS, dapat dipenuhi dengan efektif dan efisien.

------

(sejujurnya idenya sudah muncul dari ketika tugas diberikan, namun karena diendapkan terlalu lama dan baru saya lanjutkan lagi tanggal 18 desember, saya pun menemui kesulitan untuk membuatnya sealur, nyambung, runut. ceuk urang sunda mah: heunteu align pisan..)

sekali lagi, tulisan ini didedikasikan untuk DIA..